Berbicara sejarah desa ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu sejarah kecamatan Malingping agar ada korelasi antara sejarah desa Malingping Selatan dengan kecamatan Malingping.

Malingping merupakan salah satu kecamatan di kabupaten Lebak yang sebagian wilayahnya berada di pinggir laut dan mempunyai luas wilayah 9.217 Ha dan mempunyai batas-batas sebelah Utara berbatasan dengan kecamatan Banjarsari dan kecamatan Cijaku, sebelah Timur berbatasan dengan kecamatan Cihara, sebelah Selatan berbatasan dengan Samudra Hindia dan sebelah Barat berbatasan dengan kecamatan Wanasalam.

Does viagra permanently cure ed cialis and swollen genitals online viagra american express

Asal mula nama Malingping terdapat beberapa versi cerita. Versi pertama adalah berkaitan dengan kedatangan seorang pedagang yang berkebangsaan Cina bernama Ma’ Ling Ping ke tanah Banten. Ma’ Ling Ping melakukan hubungan dagang dengan penduduk lokal sampai ke pelosok daerah di Banten. Pada suatu waktu tibalah di satu daerah di bagian selatan Banten, di sana ia kemudian membuka lahan untuk dijadikan pemukiman. Lambat laun pemukiman tersebut semakin ramai dan semakin banyak orang yang datang berdagang, menjadi petani dan nelayan. Setelah Ma’ Ling Ping meninggal dunia maka untuk mengabadikan namanya, daerah yang dibukanya untuk dijadikan pemukiman tersebut dinamakan Malingping. (sumber : Juliadi dan N. Wachyudin, Toponimi Sejarah Nama-nama Tempat Berdasarkan Cerita Rakyat, Serang : Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Banten, 2014 hal.108).

Selain itu, versi kedua menurut salah satu sesepuh/tokoh masyarakat di kecamatan Malingping, beliau menceritakan bahwa pada zaman dahulu Mbah Adipati Ukur Sumadikara Jayabaya anak dari Pangeran Geusan Ulun Panji Timbanagara dari Sumedang, ditugaskan oleh wali Syarif Hidayatullah dari Gunung Djati untuk memberantas ajaran Budha aliran Pucuk Umur di Banten Girang – Baduy. Pasa saat itu Adipati Ukur mendampingi Sultan Hasanuddin Banten untuk mempperluas ajaran Islam. Setelah Baduy menyadari kekalahannya, Baduy menyatakan menyerah dan tidak akan melawan, mereka berjanji tidak akan mengganggu pasukan Mbah Adipati Ukur Sumadikara Jayabaya dan tidak ingin diganggu oleh pasukan Mbah Adipati Ukur Sumadikara Jayabaya.

Setelah itu, Banten terbagi menjadi 4 (empat) wilayah, yaitu Banten Wetan, Banten Elor, Banten Tengah dan Banten Kidul. Mbah Adipati Ukur memerintahkan anaknya yaitu Mbah Raden Mina untuk bertugas mengelola wilayah Banten Kidul tepatnya berada di Ibu Kota Cilangkahan Distrik Madur. Mulanya, kantor Ibu Kota Cilangkahan berada di daerah Pasir Geleng, Simpang. Namun, sekitar tahun 1883 terjadi bencana alam terbesar di dunia yaitu meletusnya Gunung Krakatau yang berada di Selat Sunda, hingga menyebabkan tenggelamnya kantor pusat Ibu Kota Cilangkahan tersebut. Sehingga, kantor pusat Ibu Kota Cilangkahan dipindahkan ke tanah milik Mbah Raden Mina. Di tanah tersebut didirikan pendopo, alun-alun, masjid dan pasar, karena tujuan Mbah Raden Mina menghibahkan tanah tersebut untuk kepentingan masyarakat.

Di pertengahan masa kepemimpinannya, Mbah Raden Mina memanggil sepupunya yang soleh dan berilmu dari Sumedang, beliau (sepupu Mbah Raden Mina) dipanggil untuk membantu mengelola Ibu Kota Cilangkahan yang berada di Banten Kidul. Setelah itu beliau (sepupu Mbah Raden Mina) tiba di Banten Kidul (Cilangkahan), dan pada saat itu orang yang soleh dan berilmu disebut oleh masyarakat adalah Mualim, dan masyarakat Banten Kidul (Cilangkahan) dengan antusiasnya berteriak-teriak dengan kalimat “Mualim Sumping” yang artinya “orang soleh dan berilmu dating”. Beliau (sepupu Mbah Raden Mina) menjadi pusatnya ilmu bagi masyarakat sekitar, khususnya ajaran tentang agama Islam. Pada awalnya beliau mendidik masyarakat mengenai ajaran Islam di kampung Kaum (sekarang masuk wilayah Malingping Utara), setelah itu pindah ke kampung Pedes, Cempakasari (sekarang masuk wilayah Malingping Selatan dan Sukaraja).

Hingga pada suatu hari, beliau (sepupu Mbah Raden Mina) wafat dan dimakamkan di Karamat (nama Tempat Pemakamam Umum yang terletak di kampung Polotot desa Sukaraja kecamatan Malingping). Sampai sekarang masyarakat sekitar mengkramatkan makam beliau dan biasa menyebutnya dengan “Kuburan Panjang”. Dan panggilan pertama masyarakat Banten Kidul (Cilangkahan) terhadap beliau (sepupu Mbah Raden Mina) yaitu “Mualim Sumping” diperpendek menjadi “Malingping”, dan nama Malingping tersebut dipakai hingga sekarang menjadi nama kecamatan Malingping untuk menghormati beliau.

Itulah asal mula nama kecamatan Malingping yang merupakan nama seorang tokoh yang berperan penting dalam mengelola Ibu Kota Cilangkahan di Banten Kidul, khususnya dalam memberikan pendidikan terhadap masyarakat mengenai ajaran agama Islam. Sehingga, sekarangpun Ibu Kota Cilangkahan dikenal dengan nama Malingping dengan 4 (empat) fasilitas umum yang didirikan di tanah hibah dari Mbah Raden Mina itu terdiri dari Pendopo Malingping, Alun-alun Malingping, Masjid Agung Baiturrachim Malingping, dan pasar Malingping.

Terlepas cerita mana yang benar tentang asal muasal nama Malingping, kita tidak berhak untuk membenarkan ataupun menyalahkan cerita-cerita tersebut, tetapi jadikanlah cerita tersebut sebagai salah satu warisan budaya yang diturunkan turun temurun oleh sesepuh/leluhur kita terdahulu tentang sejarah kecamatan Malingping.

Sebelum provinsi Banten berdiri, desa Malingping masuk dalam wilayah provinsi Jawa Barat. Dalam hal, cakupan desa Malingping cukup luas dan sehingga tidak terkontrol dan terakomodir aspirasi masyarakatnya. Maka, dengan adanya usulan dari masyarakat pada waktu itu, dan dengan ada respon dari Pemerintah setempat terjadilah pemekaran wilayah desa Malingping Selatan. Pada awalnya Desa Malingping Selatan bernama Desa Malingping yang berada di Kewadanaan Cilangkahan Keasistenan Malingping dengan batas desa sebelah Utara berbatasan dengan Desa Kandangsapi (sekarang Kandangsapi kecamatan Cijaku), sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Cilangkahan, sebelah Timur berbatasan dengan Desa Sukaraja dan sebelah Barat tepat berbatasan dengan Desa Bolang.

Orang pertama yang memimpin Desa Malingping adalah putra Malingping asli, yang bernama Mbah Sarman (orang kampung Pasir Haur- Kaum). Saat itu tempat melayani kepentingan masyarakat dikediaman Jaro Sarman, dikarenakan desa belum mempunyai tempat/kantor yang tetap untuk melayani kepentingan masyarakat.

Jaro Sarman memimpin Desa Malingping dari tahun 1918 – 1926. Setiap pergantian Jaro, maka tempat pelayanan masyarakat pun ikut berpindah, tergantung pada kediaman/rumah Jaro yang menjabat, kondisi tersebut berlangsung selama bertahun-tahun sampai pergantian 7 (tujuh) Jaro. Hingga pada tahun 1974, pada saat terpilihnya Jaro Jajuli memimpin Desa Malingping, beliau berkeinginan Desa Malingping memiliki tempat pelayanan masyarakat yang tetap. Dan tepatnya pada hari Senin tanggal 27 Juli 1974, Jaro Jajuli mengumpulkan sejumlah tokoh masyarakat desa untuk bermusyawarah tentang keinginan beliau untuk memiliki tempat/kantor yang tetap. Dengan antusias tokoh masyarakat desa berkumpul di kediaman Jaro Jajuli yang bertempat tinggal di kampung Pasar Malingping untuk bermusyawarah membangun kantor Desa Malingping.

Pada saat bermusyawarah, salah satu tokoh masyarakat siap menghibahkan sebidang tanah/lahan untuk pembangunan kantor desa Malingping, beliau adalah keturunan orang pertama yang bertempat tinggal di kampung Pasir Haur. Seiring berjalannya waktu, pembangunan kantor desa Malingping akhirnya rampung berkat swadaya bergotong royong masyarakat, sekaligus tercapainya cita-cita masyarakat desa Malingping dan keinginan Jaro Jajuli untuk mempunyai kantor desa pun terwujud. Jaro Jajuli memimpin desa Malingping dari tahun 1974 sampai dengan tahun 1982.

Pada tahun 1982, kala itu desa Malingping dipimpin oleh Jaro Edi Junaedi (orang kampung Lebak Jaha), masyarakat kampung Citeureup dan kampung Sangiang berkeinginan memisahkan diri dari desa Malingping, maka pada pertengahan tahun 1982 desa Malingping pun dimekarkan, kampung Citeureup dan kampung Sangiang bersatu menjadi desa Citeureup (sekarang desa Rahong).

Setelah kampung Citeureup dan kampung Sangiang terpisah dari desa Malingping maka kampung Lebak Jaha, kampung Pasar Malingping dan kampung Polotot berkeinginan pula untuk memisahkan diri dari desa Malingping.

Akhirnya, dengan berbagai desakan Jaro Edi Junaedi mengumpulkan sejumlah tokoh dari ketiga kampung tersebut, dan beliau berjanji “apabila di pencalonan beliau terpilih lagi sebagai jaro, maka beliau akan memekarkan desa Malingping sesuai dengan keinginan masyarakat ketiga kampung tersebut”.

Pada tahun 1990 Jaro Edi Junaedi terpilih lagi menjadi Jaro desa Malingping, maka sesuai janjinya pada pertengahan tahun 1990 desa Malingping dipecah menjadi 2 (dua) desa, yaitu desa Malingping Selatan dan desa Malingping Utara dengan batas desa diantara keduanya adalah jalan Raya Malingping. Pada saat itu desa Malingping Selatan memiliki 7 kampung dan desa Malingping Utara memiliki 8 kampung, hingga akhir jabatan Jaro Edi Junaedi pada tahun 1998 tidak ada lagi pemekaran desa. Setelah pemekaran tersebut, maka terbentuklah desa Malingping Selatan samapai sekarang dengan jumlah kampung sebanyak 12 (dua belas) kampung/RT dan 4 (empat) RW.

Diantara silsilah kepemimpinan Kepala Desa Malingping Selatan yaitu :

  1. H. Edi Junaedi
  2. Maman Hermanto
  3. Saeful Bahri
  4. Entus Hasan
  5. H. Deni Haryadi
  6. Hendi Suhendi, S.IP.
  7. H. Aceng Junaedi, SE. Periode Tahun 2015 – 2021.
  8. H. Aceng Junaedi, SE. Periode Tahun 2021 – 2027.